Senin, 26 Mei 2008

Ayat-ayat cintaku sudah kutemukan



hatiku sudah kutumpahkan
rasa cemaskan sudah kuhilangkan
rinduku sudah sampaikan
rasa kebimbangan kini mulai terkikis habis
oleh kedigjayaan semangat kecintaan

berapa kali kulelahkan hanya karena
cinta ketidakpastian
berapa kali ku korbankan karena
sayang rindu tak kunjung harapan

berapa kali ku berikan
cinta, rindu, sayang yang semula
melebur menjadi satu,

tapi kala itu
angin, badai telah merubah
menjadi berserakan

berserakan, berhamburan,
berkeping-keping menjadi puing-puing
adalah kenyataan bukan khayalan

bersatu, bertaut menjadi larut
adalah kenyataan ingin menjadi harapan. Harapan dan kenyataan adalah keinginan insan yang tidak bisa diperjualbelikan

badai yang membuat berserakan, angin yang menjadikan berhamburan merupakan kekuatan dunia yang bermateri, berada, yang merubah segalanya menjadi nyata

itu, ini, dia, dan kamu, hanya sebuah khayalan masa lalu,

kini mulai terhapus sudah di Mei, Mei adalah kukuatan, Mei adalah keniscayaan, Mei adalah keindahan, Mei adalah kasih sayang yang harus diberikan Mei adalah kekuatanku yang dianugerahkan Tuhan

menjadi kenyataan dan menjadi sebuah harapan, tak luput do’a dipanjatkan memberi arti makna bahwa kehidupan adalah pemberian Tuhan yang harus ditunaikan

malam250508 adalah saksi yang akan menghapus badai yang semula berserakan, malam itu yang akan mengikis habis angin yang awalnya berhamburan. Kumohon mulai saat ini jangan sampai ayat-ayatku berserakan……………

jaha, 27 Mei 2008

reyhayata@yahoo.com

Selasa, 20 Mei 2008

IN MEMORIAN CAK NUR

Mengenang Cak Nur dalam bingkai peradaban*

Cak Nur, pemikir Islam neomodernis dari Indonesia yang banyak diperbincangkan dalam central civitas kampus sebagai intelektual dan masyarakat luas sebagai biang kerusakan akidah dan moralitas Islam. Berusaha ikut mendiskursuskan pemikiran Islam Indonesia di tengah modernitas. Kehadiran cak nur, sebagai pengusung “peradaban” ditengah modernitas adalah gerakan sejak awal digemborkan di civitas kampus kemudian dilanjutkan ketika berhijrah ke Chicago, Amerika Serikat. Kritik dan analisanya yang tajam adalah, suatu metode untuk membaca hakikat kebenaran Islam. Dari sini, Islam berada dan dijelaskan bahwa Islam adalah agama peradaban.

Pemikiran Liberal Lenyapkan ortodoksi Islam

Kentara sekali, pemikiran yang dihasilkan dari kecerdasan Cak Nur, jelas dipengaruhi ketradisian Ibnu Taimiyah yang mengindikasikan pemikiran tasawuf lebih modernis, dan tokoh-tokoh modernis yang diwarnai sekuler dan pluralis.

Jelas, kehebatan Cak Nur sebagai intelektual Muda adalah kelekatannya dengan pemikiran politik dan keislaman di Indonesia. Terlihat pembaharuan dan pemikirannya bersifat sekuler dan plural sesuai dengan perkembangan di Indonesia sehingga karya-karyanya mudah dipahami karena tulisannya yang begitu kental dengan keindonesiaan dan keislaman. Dia adalah pendiri yayasan Paramadina di Jakarta, Indonesia.

Pergumulan dengan keislaman yang bermuara pada kesejukan dan pluralitas melalui analisanya yang kontroversial. Menerjemahkan sekaligus meyakini"Tiada Tuhan selain Tuhan". Adalah dengan tegas menyelamatkan Tuhan yang sebenarnya yang bercampur dengan tuhan-tuhan yang lainnya. Tuhan pada kata yang kedua menggugurkan tuhan yang pertama dan yang lainnya, namun kelompok tekstual lebih memahami dan menganggap sebagai "kejahatan" intelektual dan menyelewengkan makna Islam. Majlis ulama yang hadir sebagai palu penentu terejawantahkan sebagai representasi semua ulama, menjadi ortodoksi adalah menganggap kebenaran yang paling benar dan sepihak tanpa menjelaskn secara substansial itupun bagian dari sempalan maka sempalan itu menjadi sesat, maka kesesatan harus dilenyapkan. Sempalan dan kesesatan merupakan lontaran yang sering keluar dari mulut dan perut ortodoksi Islam

Menurut Martin van Bruinessen, "ortodoksi" dan "sempalan" bukan konsep yang mutlak dan abadi, namun relatif dan dinamis. Ortodoksi atau mainstream adalah faham yang dianut mayoritas umat atau lebih tepat, mayoritas ulama; dan lebih tepat lagi, golongan ulama yang dominan. Sebagaimana diketahui, sepanjang sejarah Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam faham dominan - pergeseran yang tidak lepas dari situasi politik. Dalam banyak hal, ortodoksi adalah faham yang didukung oleh penguasa, sedangkan faham yang tidak disetujui dicap sesat; gerakan sempalan seringkali merupakan penolakan faham dominan dan sekaligus merupakan protes sosial atau politik.

Islam sebuah Bingkai Peradaban

Memahami Islam dalam bingkai peradaban bukan terletak pada kebenaran sepihak dan klaim, jauh lebih dari itu peradaban yang dimaknai, dan bermanfaat dalam konteks kekini-an. Islam menurut Cak Nur adalah agama modern, agama yang mampu mengakomodir perubahan-perubahan, baik perubahan sosial, politik, budaya ataupun yang lainnya. Di samping itu Islam adalah agama kemanusiaan yang menggunakan akal dengan sebaik-baiknya, dan sebaik-baiknya manusia bekerja keras menjelaskan berdasarkan nalar (akal). Ali Harb menyebutnya sebagai hijab (tabir); di mana nalar satu menghalangi, menutupi, mengalahkan atau bahkan menghegemoni nalar yang lain. Hasilnya manusia yang bernalar (berakal), maka secara otomatis terlepas dari nalar (akal) kebinatangan dan kebodohan.

Islam dalam konteks kekinian tidak sekedar menjalankan syari’at Islam dengan mengatas namakan pengamalan Tuhan dan Muhammad sebagai tauladannya. Islam adalah sikap pasrah dan tunduk kepada ciptaannya, siapa saja yang tidak tunduk kepada ciptaanya berarti melawan design Allah, karena Islam yang dibatasi oleh ruang dan waktu, sebagaimana dikatakan Ibnu Taymiyah. Memaknai Islam ikhlas itulah hakikat Islam yang sebenarnya, sikap menyerah pasrah kepada Allah tidak kepada yang lain, seperti budak yang dimiliki bersama yang berselisih akan berbeda sekali dengan budak yang dimiliki satu orang namun penuh dengan ketaatan. Tuhan-tuhan yang disembah mengindikasikan sang penyembah tidak memberikan kepasrahan sempurna dibanding dengan Tuhan yang Maha Esa.

Dengan begitu kita bisa mengartikulasikan tuhan yang kita anggap dan disembah bukan seperti dikatakan Nietzsche ”Kita telah membunuh Tuhan-kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya”.kita sepakati bahwa tuhan telah mati dan kita yang membunuh tuhan yang umum itu dan menghidupkan Tuhan yang khusus, bukan yang selainnya.

Pondasi Islam secara keseluruhan adalah persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah merupkan bentukan pengabdian yang tak terpisahkan kepada Tuhan yang maha Esa dengan mengembalikan arti tuhan yang sesungguhnya, Allah dan Tuhan dimaknai dengan khusus secara substansial dan potensial adalah tidak ada yang berbeda. Cara memahami, berpikir berangkat dari perbedaan itu lahir dari ortodoksi Islam.

Jelas, menurut Cak Nur, Islam adalah universal yang tidak dapat disangkal dengan mengutip al Qur’an “Kami (Tuhan) tidak mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk seluruh umat manusia sebagai kabar gembira dan ancaman. Islam dijelaskan, dijalankan melalui mediasi pengamalan dan pengalaman berdasarkan pada penggunaan nalar (akal) hingga memahami ciptaan Tuhan dengan menundukan dan sepenuhnya pasrah kepada design-Nya sebuah bingkai peradaban

------------------------------------

*Ditulis oleh Aat Royhatudin, tutor paket B dan sekretaris BLC (Banten Learning Center)

Selasa, 13 Mei 2008

UNTUKMU, YANG SETIA

perlahan, kupelan langkahku menatap awan, mencari diriku yang hilang, kosong, karena setelah lama sudah dilupakan dan dibiarkan meski ini sering terjadi , mengharap terlalu melampaui karena mendambakan seseorang yang setia, dan bertahan ini diingatkan kembali dengan lagu wali , yang mengingatkan suaranya kepada kenangan. setia di saat menemani sampai tua, bertahan hingga mati menjadi suci.
nikmati dan biarkan dirimu mengenang.

WALI BAND

dik

Intro: E

E C#m F#m B
dik, aku pinta kau akan slalu setia
E C#m F#m B
dik, aku mohon kau slalu menemani
C#m A B
Saat ku tengah terluka
C#m A B
Kala ku tengah gundah

Chorus

C#m A
Ku akan menjagamu
B E
Di bangun dan tidurmu
A B E G#
Di semua mimpi dan nyatamu
C#m A
Ku akan menjagamu
B E
Tuk hidup dan matiku
A F#m B
Tak ingin, tak ingin kau rapuh

E C#m F#m B
dik, jangan engkau pergi tinggalkan aku
E C#m F#m B
dik, ingin aku cinta dan cinta slalu
C#m A B
Saat kau tengah terluka
C#m A B
Kala kau tengah gundah

Interlude: C#m A B B 2x

C#m A
Kau akan menjagaku
B E
Di bangun dan tidurku
A B E G#
Di semua mimpi dan nyataku
C#m A
Kau akan menjagaku
B E
Tuk hidup dan matiku
A F#m B
Tak ingin, tak ingin kau rapuh

Senin, 05 Mei 2008

AKU BENCI GURUKU


************

Pagi-pagi sekali terlihat cerah, secerah langit biru, suara burung berkicau menikmati keindahan, kukuruyuk suara ayam mewarnai perkampungan dalam suasana pagi, mencari rizki, anak-anak sekolah berlalu-lalang, ada yang bergandengan tangan sesama teman, bercanda, dan ada yang sambil makan dan tetap berjalan. Keramaian desa di pagi hari sepanjang jalan menghiasi trotoar seperti kota-kota berjibaku dengan orang-orang yang berlalu-lalang.

Wajah-wajah kesegaran penuh kebahagiaan seakan menyinari di hari pagi, kusam kusut penuh keruwetan seolah menerpa di siang hari, kerut kening penuh kelelahan seperti biasanya menawarkan kemarahan di sore petang. Adalah cakrawala dunia profesi, yang disibukkan dengan pekerjaan. Adalah dunia kesombongan yang mengutamakan individu. Adalah keegoan yang menghapuskan kecintaan. Adalah kemandirian yang menghancurkan ketergantungan. Adalah kebebasan yang meniadakan keterasingan. Perbedaan adalah keserasian


*****************

Labuan, Banten di bulan akhir April. Malam. Dalam keluarga sedang berbicara, empat bersaudara ditemani seorang ibu seusia setengah baya, sedang menyampaikan pesan bahwa hidup adalah pilihan, kita yang menentukan. Orang yang dicintai, sebagai penanggung jawab, penentu kebijakan hilang selamanya, tidak ada dihadapan sejak dua bulan yang lalu tepat pada Januari 1993. seketika itu kebijakan dan tanggung jawab diserahkan pada anak pertama. Anak pertama adalah bentuk symbol ketauladanan. Anak pertama adalah sumber dan menjadi sentral perhatian bagi yang lainnya. Anak yang pertama menjadi andalan dan sumber inspirasi bagi yang lainnya.

“Aku sudah terlanjur sekolah pendidikan modern yang berada di Tasik dan sebentar lagi mau ujian” sahut kakakku mulai membicarakan soal tanggung jawab. “tapi jangan khawatir aku kan mendapat beasiswa, di samping itu aku akan mengajar sebagai tambahan, yang terpenting adalah kalian harus sekolah” nada kakakku berpesan. Tapi bagaimana dengan aku, apakah dilanjutkan? Sahut kakak yang ke-2 yang masih kelas 3 Madrasah Tsanawiyah setingkat SLTP, “terus bagaimana dengan aku”? Teriak kakaku yang ke-3 dengan bernada sedih, terus bagaimana dengan aku dan adik-adik kita? Ekspresi kesedihan masih menyelimuti dalam suasana hening setelah menyelenggarakan ritual 100 hari. (istilah jawa; nyatus) mengenang. “Sudah-sudah yang penting semua sekolah” teriakan kakaku lebih keras.

***********************

Rumah hampir rubuh seperti gubuk, di pinggir jalan, jalan lalu lintas menuju jalan kota. Karena keadaan rumah itu menumpang adanya. Sudah tak layak pakai menurut orang-orang, karena berada di pinggiran kota. Mewah, bagus dan bersih yang harus menempati pinggiran kota. Pagi sekali aku keluar rumah untuk sekolah yang tidak jauh jaraknya, sambil membawa dagangan. Berbeda dengan adikku kelas 4 yang selisih usianya 2 tahun, yang tidak mau berjualan karena merasa malu untuk seusianya dan sepermainan temannya, karena rata-rata temannya orang yang berada. Meski berjualan di tengah-tengah menggapai masa depan, tetap saja tidak bisa membantu dan menutupi keadaan. Biaya sekolah menurutku waktu itu sangat mahal hingga aku memutuskan lebih baik tidak sekolah dan belajar di rumah yang lebih banyak berjualan ketimbang belajarnya. Sekolah dulu dan sekarang berbeda. Benar-benar tidak diperhatikan, iuran bulanan telat, orang tua yang harus berhadapan, tiga hari berturut-turut tidak sekolah tanpa alasan langsung dikeluarkan. Rapih, bersih salah satu bentuk dan ciri kepribadian sehat dan pintar, menurut guruku berceloteh, menurutku tidak, guru yang lebih mengutamakan fisik, ketimbang akal adalah guru yang bodoh. Guru dan sekaligus wali kelas 5, Siti Komariah, namanya, salah satu guru yang getol dengan pesan penuh ejekan ”jangan sering makan daun singkong dan ikan asin, entar bodoh seperti kampung si udin ” pikirku guru ini belum pernah merasakan bagaimana nikmatnya, daun singkong dan ikan asin yang dilengkapi dengan sayur asem, ditambah lagi dengan jengkol dan sambal terasi, apalagi disantap di siang bolong. Kemudian pada akhirnya guru itu pindah dari kota ke kampungku yang paling banyak mengkonsumsi makanan yang penuh ejekan itu. Sepertinya nama dan kelasku selalu disebut karena aku termasuk murid yang pendiam tapi keras ketika berbicara dan kelihatannya bodoh. Sekolah pada masaku memang mengalami diskriminasi, terbukti ada pemisahan penilaian dan siswa namun dalam satu kelas. Dalam satu Kelas di dalamnya 1A, 1B, dan seterusnya. 1A adalah orang pilihan, orang kaya, pintar dan dari kota. 1B adalah sebaliknya, terdiri orang-orang bodoh, miskin dan jauh dari kota. Aku pernah bertanya waktu naik kelas 6, “Bu aku ingin termasuk 6A, keberanianku muncul karena aku sudah bosan dengan ejekan. Pengajuanku dibantah seketika, dengan mengatakan, “kamu ingin masuk ke 6A, gesper saja kamu pake tali rapia” sahut guru wali kelas 6 yang sama karakternya dengan wali kelas 5. Menurutku ini sudah keterlaluan, aku ingin melawan tapi tak berdaya, karena pesan bapaku “sebodoh-bodohnya guru adalah cahaya bagimu maka hormatilah”. Kemiskinan diabaikan namun kepandaian tidak diperhatikan. Sekolah dulu menciptakan orang-orang yang kaya tidak pandai dan tidak bisa, bukan merubah kemiskinan menjadi bisa dan pandai dan menjadi kaya.

Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, kebodohan adalah kelemahan. Kekayaan adalah kekuatan, kepandaian adalah kebisaan. Miskin kaya, bodoh pandai sering bertengkar dan berlawanan, miskin bodoh identik dengan penghinaan, kaya pandai identik dengan pujian. Hal-hal seperti itulah yang sering berkembang dan muncul pada guru SD-ku.

**********************

Ditulis seketika oleh: Aat Royhatudin, ketika dengerin lagu mozart

Minggu, 04 Mei 2008

MASALAHMU ADALAH MASALAHKU


BERBAGAI masalah yang sudah terdata dalam pelaksanaan evaluasi nasional maupun daerah yang diselenggarakan pemerintah menunjukkan, pemerintah belum berhasil menggunakan kekuasaannya dengan bijak, seimbang, dan sesuai tanggung jawabnya. Berbagai persoalan lain (misalnya, tidak dipenuhinya alokasi anggaran 20 persen, belum diberlakukannya pendidikan dasar gratis, ambruknya bangunan-bangunan sekolah di banyak tempat, mutu pendidikan yang terus menurun) merupakan contoh kegagalan pemerintah dalam menunaikan tanggung jawabnya. Dalam konteks negara sedang mengalami krisis multidimensional, keterbatasan dan ketidakmampuan pemerintah sering diajukan kepada masyarakat untuk dipahami dan diterima. Bahkan, pemahaman dan penerimaan masyarakat diikuti dukungan dan partisipasi masyarakat untuk mengisi kekosongan. Misalnya, swadaya masyarakat dalam pengelolaan sekolah-sekolah swasta.

Seyogianya, kewajiban dan layanan publik oleh pemerintah berjalan seiring kekuasaan dan wewenang. Namun, ketika pemerintah tidak mampu menyediakan pendidikan bermutu secara gratis bagi tiap warga dan masyarakat mengambil alih peran pemerintah dalam pengelolaan sekolah secara swadaya, kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepada masyarakat belum seimbang. Penyelenggaraan ujian akhir nasional (UAN) dan segala variannya di daerah menunjukkan betapa pemerintah masih ingin memegang wewenang dan menjadi alat kekuasaan untuk mengatur sekolah, "menghukum" sekolah dan siswa yang tidak mampu memenuhi kewajibannya.

Perlunya standardisasi dalam sistem pendidikan nasional bisa dipahami dan diterima. Jika evaluasi di akhir jenjang dilaksanakan di tingkat sekolah (UAS) dan penerimaan siswa baru dilaksanakan sekolah masing-masing, dikhawatirkan menimbulkan kesulitan dalam menetapkan standar mutu. Namun, evaluasi nasional maupun daerah yang bertahun-tahun diselenggarakan pemerintah ternyata belum menjawab kebutuhan standardisasi. Validitas, reliabilitas, dan prosedur administrasi (termasuk biaya) dari ujian-ujian yang diselenggarakan pemerintah masih diragukan.

Kompetensi yang belum sempurna pada lembaga penyelenggara tes harus bisa dipahami dan terima. Namun, kredibilitas dan integritas adalah dua syarat yang tidak bisa ditawar (tuntutan atas dua hal ini tampaknya mewarnai keresahan dan penolakan masyarakat terhadap UAN). Lembaga mandiri yang menyelenggarakan evaluasi dan standardisasi harus bebas KKN, bukan kepanjangan tangan pemerintah, siap diaudit, dan dikaji.

Dalam memenuhi tiga syarat utama itu, bisa saja ada keraguan terhadap kemampuan lembaga mandiri yang diserahi menyelenggarakan evaluasi dan standardisasi. Lembaga ini harus terus dimonitor dan diuji. Namun, ada perbedaan signifikan antara pemerintah dan lembaga mandiri sebagai penyelenggara. Ketika pemerintah menyelenggarakan UAN, sekolah tidak punya pilihan lain selain mematuhi meski ada keraguan terhadap mutu tes yang digunakan. Arogansi kekuasaan yang menyertai penyelenggaraannya menghambat tes yang digunakan untuk dikaji secara profesional dan bertanggung jawab. Akibatnya, tidak tampak adanya perbaikan mutu ujian nasional selama bertahun-tahun ini. Yang berganti hanya label, isi, dan penyelenggaraannya tidak berbeda dengan sebelumnya.

Dinamika antara peningkatan mutu instrumen evaluasi dan demokratisasi di masyarakat hanya bisa terjadi jika pemerintah berbesar hati untuk berbagi kekuasaan dan tanggung jawab dengan masyarakat. Masyarakat sudah mengkritisi agar proyek UAN tidak menjadi rutinitas "hajatan" nasional. Jika pemerintah bersikap arif, beritikad baik untuk memperbaiki kinerjanya, dan meraih kembali kepercayaan publik, para pejabat terkait perlu berpikir jauh melebihi masa jabatan masing-masing dan memperbaiki ketidakseimbangan antara kekuasaan dan pemenuhan kewajibannya.

Membaca tulisan Triyono, Ujian nasional tidak lebih sebuah proyek ritual yang begitu menakutkan, birokrasi Negara menempatkan UN sebagai upacara edukasi yang amat sacral, dan ini sebetulnya sudah mengarah kepada sucinya UN yang substansinya dan hingga akhirnya tidak memberikan apa-apa. Seperti penyembahan kepada berhala yang tidak memberikan manfaat apa-apa.

Sebagai berhala pendidikan, menurutnya, pendidikan yang diyakininya oleh Negara, semua sumber keuangan, kecerdasan, bahkan keamanan harus dipasrahkan kepada UN, tidak mengherankan bila dikatakan UN menciptakan kekerasan structural dalam tatanan birokrasi pendidikan. Kepala sekolah mewajibkan para guru melatih kognisi siswa dengan metode drill (pelatihan hanya dikenal dalam institusi militer) agar siswa mahir merespon soal-soal yang diujikan.

Merujuk pemikiran Francis Bacon (1561-1626) berhala dalam hal ini merupakan tipuan potensial atau sumber ketidakmengertian yang menyelubungi dan mengacaukan pengetahuan kita terhadap kenyataan ekstrenal.ada empat jenis berhala yang berkuasa. Pertama, berhala suku,yang berarti kelemahan dan kecenderungan yang secara alamiah ada dalam diri manusia. Contohnya pikiran penuh harap karena mnusia bertendensi menerima, meyakini, dan membuktikan hal yang lebih di sukai sebagai kebenaran Kedua, berhala gua yang di tunjukan distrosi, prasangka dan keyakinan akibat latar belakang keluarga, pengalaman, kelas sosial, dan sebagainya. Ketiga berhala arena pasar yang muncul dari kerja sama dan perpaduan antarmanusia seperti kosakata dan jargon-jargon dari komunitas akademi dan di siplin ilmu tertentu. Keempat, berhala drama merefleksikan peniruan kebenaran artifisal yang berasal dari gagasan yang di penuhi takhayul pemberhalan UN menunjukan betapa para penentu kebijakan hanya melandaskan pada kepentingan prefrensi sepihak. Selain itu, penerapan UN yang bersifat absolut didasar kan pengalaman partikular penjabat, slogan akademis akademis dari disiplin ilmu tertentu, dan gagasan yang tidak sudi membuka terhadap kebenaran alternatif

Ujian Nasional sebelum dan sekarang dan tidak ditolak yang akan datang, pasti banyak menuai kritik dari kalangan pemerhati pendidikan, guru, masyarakat dan terutama demonstrasi penolakan UAN oleh pelajar..

Pada awalnya, saya termasuk barisan orang yang mendukung UAN dengan hanya satu argumentasi yang mendasar, untuk mengetahui tingkat kualitas pendidikan secara nasional dan bla bla bla… Kemudian, kenyataan menampar saya dengan fakta-fakta yang sungguh menyakitkan. Setelah saya pertimbangkan masak-masak, akhirnya saya menyimpulkan UAN lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Berikut alasan-alasan saya menolak diadakannya UAN.

  1. UAN melahirkan ketakutan dan kekhawatiran massal, psikologis masyarakat jadi sakit karena dicekam ketakutan. Murid takut tak lulus, orang tau takut malu, Guru malu karena dianggap tak mampu dan tidak kredibel membekali anak didiknya dengan baik. Sekolah malu dianggap tak berkualitas karena siswanya ada yang tidak lulus. Akibatnya,
  2. UAN hanya akan melestarikan budaya ketakmandirian, budaya penjiplakan, budaya Copy-Paste. Siswa hanya akan dibodohi dengan menunggu jawaban dari langit saat mengerjakan UAN. Bisa dilihat dengan gamblang, bagaimana jawaban UAN tahun lalu bisa menyebar pada malamnya dan ada pula yang pagi hari menjelang ujian berlangsung via sms dan gratis pula. Semua sukar dibuktikan, tapi itulah pengakuan dari sekian banyak siswa baik murid saya maupun yang bukan murid saya. karena itulah, maka,
  3. Kemurnian Ujian Nasional sangat pantas dipertanyakan dan tak layak dijadikan standar patokan kualitas pendidikan nasional, dan karena sudah tak pantas dan tak layak, maka
  4. UAN hanya memboroskan dana APBN, akan lebih baik digunakan untuk memperbaiki infrastruktur pendidikan yang tak layak, dan
  5. Segudang alasan lain yang sangat banyak yang tak bisa saya sebutkan satu per satu, misal, sekolah 3 tahun cuma ditentukan 3 hari, orientasi siswa tak lagi keilmuan, tapi kelulusan dan lain-lain.
  6. UAN memicu tindakan kecurangan yang massif berskala nasional. Menjadikan banyak pihak terkait menghalalkan segala cara agar siswa lulus. Melahirkan praktik-praktik mafia di dunia pendidikan dengan mencuri soal dan menyebarkannya, baik komersil maupun tak komersil, baik perorangan maupun lembaga. Tak ada bukti kongkrit memang. Tapi, karena semua diuntungkan, hal ini menjadi 100% halal dan pastinya semua akan tutup mulut jika dikasuskan, atau mencari satu kambing hitam agar publik terpuaskan, jika memang perlu ada yang dihukum.
  7. UAN tidak lebih sebuah ritual yang terlembaga dan semua masyarkat Indonesia secara tidak sadar manganggap penting dan harus dilakukan
  8. UAN melahirkan Guru berbuat criminal dengan bekerja keras mengerjakan soal-soal, membodohi murid-murid seperti ritual tahunan yang menyembah berhala yang sama sekali tidak memberikan apa-apa, bahkan tidak tahu apa-apa.

Alhasil, maka saya punya sikap untuk menolak UAN dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Saya menerima UAN dengan catatan, tidak menjadi penentu kelulusan siswa kalau hanya untuk mengetahui standar mutu pendidikan secara nasional.

Penolakan saya, terus terang tidak berdasarkan data-data valid dan kongkrit, kurang dilandasi dengan pertimbangan-pertimbangan rasional para akademisi dan para professor serta para pembuat kebijakan. Lebih sekedar pertimbangan emosional dan moral, berdasarkan kenyataan di lapangan yang tak dapat dibuktikan jika saya harus berhadapan dengan hukum positif. Percayalah, anda yang pro atau pun yang kontra, sama-sama memiliki keinginan baik untuk memajukan pendidikan bangsa ini.

Saya tunggu pesan anda!

Kamis, 24 April 2008

berikan aku cinta hingga aku memikirkanmu

Cinta Sesaat atau Cinta Sahabat……..,

By Aat Royhatudin

Mula senja pukul Tiga, acara sudah dimulai, berkumpul, bercanda: hal yang penting bagi manusia sebagai pilihan ketika mengalami penekanan, kepenatan diawali dengan kepenatan diakhir dengan keceriaan melalui sebuah permainan itulah workshop yang diharapkan.

Waktu tidak terasa malam pun tiba – tiba seorang wanita yang berbeda, beda dengan wanita lain yang ada, seketika itu dia mendekat, mendekat bukan ingin mendapat cinta dan perhatian, mendekat karena tidak ada pilihan. Kenal saling menganal adalah kewajiban peserta karena intruksi panitia.

“Aku ingin mengenalnya segera” itulah khayalanku seketika, dekat tanpa disengaja, aku langsung memandangnya dengan segera kuulurkan tangan

“Hana” itulah jawabannya. Langsung terpikir, dipikiranku nama itu cukup manis dimilikinya, manis senyumnya, manis dipandang-Nya.

******

Pagi harinya, menunggu.ditunggu itu agendaku, menunggu kapan acara dimulai biar aku leluasa menikmati indahnya panorama, panorama yang penuh bunga-bunga yang berbeda warna. Warna ku suka ternyata banyak kumbang yang menghampirinya. Mungkin kumbang yang satu mendekat, hanya sekedar menghisap madunya saja, setelah itu pergi entah kemana. Mungkin juga kumbang yang satu ini ingin menikmati seperti yang lainnya, namun tak kuasa karena ingin menjadi kumbang pilihan, pilihan semua bunga yang selalu ditunggu dinanti, apalagi diterima.

”Ah itu hanya bayangan dan khayalanku saja yang terlalu mengada-ada.” Pikiranku sejenak yang hanya bisa memandang kearah dimana dia selalu ada.

“Heh pagi-pagi sudah melamun” tanya sahabat dekat.

“Eh kamu ka “seketika sambil tanganku memukul pelan.

“Ayolah sarapan” kata si taka balik bertanya .tanpa menghirau lamunanku

“Yah udah duluan aja “jawaban ku segera yang seharusnya kamu tahu apa yang selama ini aku pikirkan. “tapi itu tidak mungkin” pikiranku menerawang.

“Eh melamun lagi, kaya ga ada pekerjaan aja, pagi-pagi itu bagusnya sarapan dan” tanyanya sambil meyakinkan bahwa sarapan pagi ala sunda memang cukup nikmat dan lezat.

“Ya udah duluan aja “sepontan jawabku sambil marah-marah karena sudah menghancurkan khayalanku yang sudah tertata rapih dan hampir selesai. Bagai mana tidak marah, ibarat lukisan yang sudah hampir jadi, tinggal dinikmati, namun hancur tak berarti dan tak memiliki arti seni lagi.

Mancoba untuk bersabar, menunggu yang keluar, “bukankah dia seharusnya yang keluar ?” pikiranku sejenak. Mata tak lagi memberi tujuan kucoba pandanganku dialihkan, sehingga makanan lezat dan nikmat yang tersedia tak mampu menggoda dan itu dianggap biasa. Inikah yang dinamakan jatuh cinta?

“Dan ternyata makanan ala sunda enak juga yah” kata-kata enak di setiap makanan tak luput dari mulutnya.

“Ka kira-kira si Hana sarapan pagi engga yah” tanyaku pada Taka tanpa menghiraukan pujian makanan, meski sedikit merasa ada kekhawatiran

“kayaknya kamu mulai khawatir nih”timpal Taka seakan tahu apa maksud hatiku.

“biasa aja kali” menyembunyikan perasaanku sambil menahan nafas.

“Menahan nafas adalah sebagai tanda bukti akibat sebuah kumpulan angin yang dihembuskan dari dalam akibat dari bentuk kemunafikan”.petuah sahabat dekat yang tidak lama lagi akan menjadi calon pandita (pemimpin taruna agama Budha)

Terlihat jelas, sahabat, teman dekat, adalah kecintaan murni yang melekat tanpa melihat perbedaan dan sekat. Kehadiran workshop bertemakan menjalin persaudaraan antar lintas iman memberikan arti dan nilai luhur manusia kepada manusia lainnya. Dialog antar iman memiliki manfaat yang cukup signifikan, disatu sisi adalah tempat-tempat, pertemuan, penginapan memberikan kehidupan, keakraban, keindahan dalam persaudaraan, di sisi lain waktu-waktu pagi, siang, sore, malam mampu menyuguhkan ikatan emosional, pencerahan intelektual, dan kekuatan spiritual.

“Jangan terlalu dipikirkan, kan masih ada beberapa hari untuk tetap berusaha” Sahut Taka memotivasi penuh dengan teka-teki.

“inilah yang aku pikirkan”

“hari itu hari dimana memberi kamu hidup indah, tenang dan senang”kata calon Pandita sambil bersajak dan beranjak keluar.

Makanya yang aku pikirkan saat ini, bagaimana hari itu adalah hari terbesar dan tidak akan terlupakan”khayalku sambil membayangkan dengan mata pikiran yang kosong.

“eh agenda hari ini apa yah?”Tanya taka menghancurkan lamunanku seketika.

“hari ini dialog antar agama tentang pluralisme”jawabku sedikit kesal sambil mempersiapkan secarik kertas kosong.

“tapi sessi pertama dulu atuh, masalah budaya local, gimana sih ko bisa lupa. Kamukan termasuk orang yang serius mengikuti acara ini” sambut Taka yang cukup perhatian karena masih dalam satu kelompok.

Ya..ya… yaaah. Budaya local adalah bagian sikap dan pikiranku. Sikap dan pikiranku inilah bagian yang terkecil dari budaya local Banten. “bagaimana sikap aku mencintai?,bagaimana pikiranku ketika berpikir” masih melanjutkan khayalan cintanya.

“Ah dasar kamu Dan, lagi kasmaran yah” sampai-sampai budaya local saja dibawa ke urusan cinta”.

Oh iya, orang Banten ketika urusan cinta itu jujur dan berani”

“Ah itu menurut kamu, belum tentu yang lainnya seperti kamu” jawab Taka masih belum yakin dan seperti tidak menerima.

Bersambung…………………………

perempuan dalam peradaban

PEREMPUAN DALAM PERADABAN

Oleh : Aat Royhatudin*

Hari Kartini merupakan hari di mana perempuan Indonesia merasa diagungkan dan dihormati keberadaannya, seolah disakralkan. Perempuan kadang menghiasi diskusi dan perbincangan, dulu dan sampai saat ini. Pemaknaan perempuan bukan hanya dari sisi eksistensi atau tubuh saja namun lebih luas keberadaannya dikontekstualisasikan dalam kehidupannya. Perempuan dulu, saat ini, dan yang akan datang adalah tetap tidak ada dalam pembedaan, pembedaan yang ada adalah peradaban.

Dunia perempuan dalam Peradaban jahiliyah merupakan korban kebiadaban karena ketidakberdayaan, posisi direndahkan, dan hak hidup ditiadakan. Yunani yang terkenal dengan para filosofnya, popular dengan ilmu pengetahuannya, menghargai tinggi dengan peradabannya, jauh sebelum kedatangan Islam, perempuan dalam kehidupannya sangat direndahkan.

Beberapa peradaban yang pernah ada di dunia berpandangan berbeda-beda tentang perempuan. Tapi mengacu pada satu titik, yaitu 'pelecehan dan penghinaan' terhadap perempuan. Memandang perempuan dengan begitu keji dan hina. Perempuan yang subur akan dirampas dari suaminya untuk laki-laki lain demi kepentingan angkatan bersenjata. Sedangkan perempuan yang melahirkan bayi yang cacat, mereka akan dihukum mati.

Tidak ada bedanya dengan Yunani, peradaban India pun tak kalah kasar dalam memperlakukan perempuan. Perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya harus ikut dibakar hidup-hidup bersama jasad sang suami. Jika dia tidak mau melakukannya, maka dia akan dianggap sampah masyarakat yang lebih hina dari binatang. Begitu pula Negara yang dijadikan rujukan oleh nabi Muhammad sebagai pusat pencarian pengetahuan masih saja menganggap perempuan paling rendah. Pepatah Cina yang dianggap menghilangkan eksistensi perempuan "sepuluh bidadari cantik tidak sebanding dengan seorang laki-laki tua yang bongkok".

Perempuan dalam dunianya memiliki banyak persoalan, mulai dari persoalan kehidupan pribadi seorang perempuan sampai kepada urusan di luar pribadi seorang perempuan, mulai dari masalah domestik sampai ke persoalan dunia international, dari urusan gaya hidup, seks sampai urusan politik masih ada dalam perdebatan.

Perempuan Islam

Konteks Perempuan Islam merupakan bagian bentuk ideal makhluk sempurna dari Tuhan. Perempuan Islam tidak disederhanakan pada konteks perempuan beragama Islam, atau dengan berjilbab, namun jauh lebih dari itu perempuan yang penuh dengan penghargaan terhadap diri sendiri, menjalankan hak hidupnya sesuai dengan syari’at Islam. Sehingga dikatakan oleh filsuf sekaligus sufi, Ibnu ‘Arabi, perempuan merupakan manifestasi Tuhan yang paling sempurna. Kesempurnaan yang dimiliki perempuan karena kemerdekaan dengan kebebasan yang mampu dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Kemudian al-Qur’an menyebutnya kedudukan perempuan diatur oleh Allah Swt secara proporsional sesuai dengan fitrah penciptaannya. Perempuan dan laki-laki sama dihadapan Syari'at tanpa ada perbedaan. "Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar" (QS. Al-Ahzab: 35).

Perempuan Islam tidaklah hanya pada seputar entitas monolitis. Banyak orang mungkin berpikir bahwa kalimat ini menyatakan sesuatu yang sudah tak perlu diperdebatkan lagi, namun penemuan-penemuan kejanggalan terhadap diri perempuan sering mengakibatkan ketidakadilan. Hal yang nyata, hukum yang tegas, aturan yang tepat sering diintepretasikan sepihak, ketentuan dan ketetapan yang mengandung banyak penafsiran dalam al Qur’an kadang dijadikan alasan untuk berbuat kesewenang-wenangan. Konsep konkrit dan luas yang mereka temui dalam al Qur’an tidak memiliki wujud yang tetap dalam pengejawantahannya dalam kehidupan orang-orang nyata, apalagi konsep yang abstrak, hal tersebut merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, namun alasan dan motivasi di balik pemaknaan kadang jauh dari tujuannya.

Banyak pula orang beranggapan bahwa seorang perempuan yang tertutup, berjilbab, berkerudung, dan selalu berada di rumah adalah seorang perempuan yang baik, terlepas dari ketertekanan dan keterpaksaan. Pada kenyataannya, cerminan ketidaktahuan yang penuh prasangka terhadap keyakinan perempuan inilah yang menghambat, menghina, dan dalam sebuah lagak kepedulian yang diputarbalikkan dan penuh kemunafikan, justru merendahkan otonomi dan kecerdasan perempuan. Dalam konteks inilah peradaban dipahami, hanya orang-orang yang berilmulah yang takut (takwa) kepada Allah

Perempuan dalam konteks berperadaban memiliki arti luas, termasuk di dalamnya, penegakkan hukum yang adil, penghargaan terhadap ilmu menjadi tradisi keilmuan, dan pelaksanaan hak asasi manusia. Kesadaran seperti inilah orang bisa membangun kebersamaan, toleransi, keilmuan dan sikap saling menghargai

Dalam peradaban, wacana perempuan tidak bisa hanya sebatas diskursus, lebih dari itu diperlukan tindakan konkrit berupa kesiapan untuk menghargai, berekspresi, terutama perempuan itu sendiri dengan sekuat tenaga mempertahankan hidup dan menghargai dirinya sendiri.

Problema perempuan pada saat ini masih diperhadapkan dengan kendala psyikologis dalam hubungan peradaban-meskipun kita sering melihat di Indonesia sebagai bangsa yang toleran, sopan dan baik – namun ada saja berita yang yang menyedihkan salah satu sasarannya adalah perempuan.

Mencermati kemiskinan penghargaan terhadap perempuan, buah dari domestifikasi dan pembagian peran menurut jenis kelamin adalah pemandangan akrab bagi kita. Tidak ada cara lain selain bangkit menuju peradaban dan angkat pena sebagai tradisi dan kebudayaan. Pasalnya, kuatnya ideologi patriarki dalam bingkai peradaban, mesti ada pemikiran berbasis feminis, yang ramah dan menyapa perbedaan.

Adakah pemikir perempuan, sekaligus pejuang? Kalaupun ada itu masih bisa dihitung dengan jari. Untuk bangsa Indonesia masih kecil bila dibandingkan dengan laki-laki. Paling tidak terdapat sederetan tokoh; Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Din, Musdah Mulya, Ratna Mega Wangi, Gadis Arivia, Zakiyyah Darajat, Hopipah Indah Pawangsa, Dee, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan Nong Darol, dll.

Dengan demikian, mengangkat pena menjadi penting, bahkan sangat erat kaitannya dengan peradaban. Sejumlah orang besar seperti Carlyle, Kant, Mina Bean, Hanna, Fatima Mernissi, Aminah Wadud, Rifat Hasan sangat percaya dan meyakini penemuan tulisan benar-benar telah membentuk peradaban. Perempuan yang berperadaban adalah pilihan yang sangat diharapkan.

 
 
* Pemerhati Perempuan dan sekjend BLC (Banten Learning Centre)

Rabu, 23 April 2008

Pendidikan Yang membebaskan

Pendidikan sering kita pahami hanya pada seputar sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, perguruan tinggi dan lain sebagainya. Namun sejatinya, pendidikan memiliki pengertian yang luas.
Dimana pun, kapanpun ketika berkumpul, ngobrol, diskusi itu sebetulnya mengandung arti pendidikan. Saya ingat ketika mengikuti kuliah umum yang disampaikan oleh Aqib Suwito, guru besar UIN Jakarta, bahwa tempat pendidikan yang efektif, mudah dicerna dan sederhana hanya bisa dilakukan “ketika kita ngobrol di warung kopi, dan tempat-tempat yang lainnya,”.hal demikian mengingatkan saya kepada teori public sphere, Jurgen Habermas, bahwa public sphere atau ruang publik merupakan media untuk mengomunikasikan informasi dan juga pandangan. Sebagaimana yang tergambarkan di Inggris dan Prancis, masyarakat bertemu, ngobrol, berdiskusi di warung kopi tentang buku baru yang terbit atau karya seni yang baru diciptakan. Dalam keadaan masyarakat bertemu dan berdebat akan sesuatu secara kritis maka akan terbentuk apa yang disebut dengan masyarakat madani.
Rata-rata kita mengasumsikan tempat atau ruang mengandung arti pendidikan adalah perpustakaan, tempat dimana memilliki aturan dan pengaturan, padahal perpustakaan tak lebih sekumpulan buku-buku yang menawarkan pencerahan dengan men-transfer informasi dari buku ke otak tanpa mengkritisi isi, kalau demikian adanya, apa bedanya dengan sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, sekumpulan guru-guru dengan membawa buku-buku.

Keberadaan sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, perpustakaan dan yang lainnya merupakan institusi penting sebagai tempat pembelajaran yang terus-menerus, beraturan, yang tanpa disadari kita mesti mengikuti aturan-aturan, tanpa ada kebebasan, kemerdekaan dan jauh dari kecintaan. Dan secara berkesinambungan mampu berjalan dan efektif secara formal dan menurut hemat saya, hal itu tidak lebih didasarkan pada kebutuhan individu masing-masing untuk mendapatkan “sesuatu” atau kepentingan lainnya, misalnya seorang murid atu pelajar datang ke sekolah mengikuti aturan, dan ingin mendapatkan ijazah, setelah itu, selesai. Begitu pun seorang guru atau ustadz membawa buku, mengikuti aturan yang berlaku, mentransfer ilmu, dan mendapatkan sesuatu, dan terus berlanjut. Itukah tujuan pendidikan dan seperti apa tempat pendidikan yang ideal itu?

Summerhill school adalah sekolah allternatif yang membebaskan, yang sebagian orang menganggap adalah sekolah tanpa aturan. AS. Neill orang kali dan pelaku pertama menerapkan system pendidikan yang membebaskan dari sekian lembaga pendidikan di kota Leiston, Suffolk London. Pendidikan untuk saat ini yang dibutuhkan adalah sebuah system dan orientasi yang jelas. Aktivis muda pendidikan, Bahrudin hampir mirip pemikirannya dengan Paulo Freiere dan AS. Neill, bahwa tinggi rendahnya kualitas pendidikan bukan tergantung pada mahal atau murahnya pendidikan pendidikan adalah kebebasan dimana di dalamnya, bisa bermain, belajar, mangkir tanpa ada aturan yang membuat kaku dan beku, karena pada dasarnya manusia itu baik dan tidak jahat, dan paling penting pendidikan harus bersifat partnerlisme, yakni tidak ada jurang pemisah antara guru dan murid. Pendidikan yang membebaskan, menurut saya memberikan hak sepenuhnya untuk mengerjakan sesuatu tanpa harus memaksakan sesuatu dengan kekuasaan tertentu dan membiarkan kesadaran tumbuh dengan sendirinya. Selama ini yang kita lihat adalah bagaimana anak itu harus menjadi dewa-dewa kecil, menjadi pengikut, penurut dan mendapat ijazah atau nilai yang memuaskan? sehingga dengan tak tersadarkan diri kita sudah terjebak pada lingkaran kesadaran magis secara sedernanya ketidakberdayaan dalam membongkar kesalahan sehingga ditutupi dengan cara melupakan, mengajak melupakan masa lalu yang menindas. Sedangkan kesadaran naif menganggap satu sebab hanya menghasilkan satu akibat yang benar, sebagaimana paulo freire menjelaskan.

Pendidikan yang membebaskan
Sedikit menyimpang awalnya dari persoalan karena tidak menerangkan pengertian pendidikan, dalam pendidikan yang membebaskan terlalu sederhana mendiskusikan masalah pengertian pendidikan. Sebagai analogi saja untuk mengawali seperti apa sih pendidikan yang membebaskan itu. Di buku pendidikan alat perlawanan yang ditulis oleh Hanif, dalam pengantarnya KH. Mahfuz Ridwan, Lc., mengatakan bahwa situasi penindasan yang mengungkung suatu masyarakat biasanya bertahan lama ketika agama mulai ditampilkan sebagai alat untuk melegitimasi situasi yang tidak manusiawi. Pesan itu pun kembali disuarakan oleh Muhaimin Iskandar dalam catatan epilognya dengan mengutip pendapat Karl Marx yang mengatakan bahwa agama adalah salah satu bentuk keterasingan manusia dari ketertindasan. Kegagalan agama untuk membawa pembebasan dari ketertindasan itu, telah menyebabkan agama menjadi candu rakyat yang tidak mampu memberikan solusi yang nyata bagi rakyat
Bermula dari analogi itulah untuk menggali kembali hakekat keberagamaan yang seharusnya ditampilkan oleh manusia beragama. Dengan memakai cermin praktek pendidikan yang membebaskan sebagaimana dilakukan oleh Paulo Freire di Brazil pada paruh 1960-an. Menurut Freire, pendidikan di Brazil (dan mungkin masih terjadi sampai kini di banyak negeri, termasuk Indonesia) ketika itu, telah menjadi alat penindasan dari kekuasaan untuk membiarkan rakyat dalam keterbelakangannya dan ketidaksadarannya bahwa ia telah menderita dan tertindas. "Pendidikan gaya Bank", dimana murid menjadi celengan dan guru adalah orang yang menabung, atau memasukkan uang ke celengan adalah gaya pendidikan yang telah melahirkan kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid. Lebih lanjut dikatakan, "konsep pendidikan gaya bank juga memeliharanya (kontradiksi tersebut, pen) dan mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid". Murid hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang sesungguhnya. Inilah yang disebut Freire sebagai kebudayaan bisu (the culture of silence).
Kesadaran kritis menjadi titik tolak pemikiran pembebasan Freire. Tanpa kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh kekuasaan, tak mungkin pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep pendidikan Freire ditujukan untuk membuka keran kesadaran kritis melalui pendampingan langsung.. Pendidikan pembebasan, menurut Freire adalah pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi "masyarakat kerucut" (submerged society) kepada masyarakat terbuka (open society).
Pendidikan yang membebaskan bukan hanya sekedar diskursus, hanya karena bukan produk Indonesia, hingga masyarakat makin mengkerucut, membeku dan berada semakin membisu. Namun yang krusial adalah bagaimana pendidikan itu bukan lagi menakut-nakuti, menindas, apalagi bersifat militeristik.
Penutup
Pendidikan membebaskan bukan berarti didefinisikan tanpa aturan. Kesepakatan adalah bentukan aturan yang menghasilkan peraturan. Kesepakatan adalah suara yang berharga berdasarkan tanpa berasal dari mana dan ia (suara) berada. Suara professor, suara tukang becak, suara guru, suara murid, suara orang tua, suara anak atau suara-suara yang lainnya yang itu sama dan berharga apabila ia terlibat di dalamnya.
Pendidikan, tempat pendidikan, pendidik dan terdidik adalah sinergi yang tak terpisahkan hingga mampu memberikan kebahagiaan penuh dengna kecintaan, berusaha mencurahkan wawasan dengan segala pengetahuan, dan mengangkat kebebasan tanpa paksaan adalah sebuah proses idealitas menjadi realitas, dari mimpi menjadi terbukti, yang baik menjadi lebih baik.
Pendidikan yang mencerdaskan bukan berarti membebaskan tanpa aturan. Memberikan kebebasan tak diawali dengan kecintaan adalah bukan pilihan untuk mencerdaskan. Pendidikan di Brazil dan Inggris tidak harus dijadikan model sebagai pembelajaran, yang jelas pemberian pengetahuan tanpa didasarkan penindasan inilah yang dimaksud dengan pendidikan yang mencerdaskan.